Karena hidup itu seperti jendela. Yang memiliki cerita berbeda, di setiap sisinya.

Sabtu, 17 Mei 2014

RINDU



 
[sumber gambar: nyolong dari punya temans :D]

Merindu itu menyakitkan. Menunggu itu lebih dari sekadar menyakitkan.

***

Sejak aku bertemu denganmu, tidak pernah sekalipun aku ingin merindumu. Semenjak kulitmu menyentuh telapak tanganku, tak pernah sekalipun terbesit dalam pikiranku untuk selalu menyambangimu di alam mimpi.

Tapi semua berlalu begitu cepat.

Terlalu cepat sampai aku tidak menyadarinya. Kamu seolah sudah mengatur waktu, memutar pergerakan jam dengan secepat kilat, dan mencecap menit dengan seluruh tenagamu. 

Kamu seolah bisa membaca masa depan. Aku bahkan tidak menyadari kamu mengganti angka di kalenderku hingga sekarang sudah tahun kedua berlalu.

Aku tidak bisa membaca gerak-gerikmu. Itu terlalu memusingkan.

Hingga hari ini, di atas hentakan jarum jam yang bergerak menyakitkan, aku akhirnya menyadari satu hal. Kamu sudah menaburkan bubuk rindu di atas jejakanku. Kamu sudah menjejalkan candu kasih di setiap oksigen yang kuhirup.

Aku tidak tahu kenapa kamu melakukannya. Yang jelas, setiap usaha yang sudah kamu lakukan itu sudah berhasil. Berhasil membuatku goyah dan sempat kehilangan arah, dan berhasil membuatku tercengkeram rindu yang berkelebat di sekelilingku.

Kini aku selalu merasakan sakit menyobek paru-paruku saat aku menghirup oksigen. Oksigen yang sudah kamu jejalkan candu kasih di sana. Aku juga selalu merasakan panas membara di telapak kakiku setiap kali aku melangkah. Aku sudah menginjak butiran rindu yang kau tabur.

Ya, kamu berhasil membuatku merindukanmu.

Dan merindukanmu adalah salah satu hal yang sangat menyakitkan bagiku.

***
 
Kota Jakarta bermandikan air hujan. Rinai hujan yang sudah turun sejak malam tadi belum juga menguap. Masih setia menjatuhkan dirinya di atas genteng yang memberikan suara gemeresak bak pelengkap dinginnya pagi itu.

Awan di atas sana masih mengulum marah dan berwarna kelabu. Matahari mulai kewalahan berpendar. Sinarnya yang berusaha menerobos gumpalan awan itu hanya memberi secercah kehangatan yang samar.
Aku tidak pernah memiliki masalah dengan hujan. Tidak sama sekali. Tapi adanya hujan di saat rindu itu sangat tidak keren.

Bunyi berkelontang di atap masih kentara di telingaku. Aku melangkah tersaruk ke luar rumah. Bau khas tanah basah langsung merayap menusuk hidungku saat aku berhasil memunculkan diri dari balik pintu yang kubuka lebar-lebar.
 
Aku mengedarkan pandangan. Menatap setiap jengkal halaman rumah yang basah karena hujan. Aku menghembuskan napas dan memejamkan mata.

Di saat merindukan seseorang seperti inilah, aku merasakan sakit saat menusuk jantungku. Nyaris membuatnya pecah. Tidak hanya itu. Aku selalu merasakan atmosfer di sekitarku menjadi tidak lagi damai dan begitu menyesakkan.

Sangat menyakitkan.

Begitu kusadari, aku sudah menjatuhkan buliran air mata dari peraduannya. Tidak, aku tidak menangisi sosokmu. Aku hanya kecewa padamu. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa kamu membuatku merindukanmu lalu kemudian kamu mengambil langkah seribu setelah kamu berhasil?

Tangan kiriku yang bebas mencengkeram dadaku. Sakit, kecewa, marah, dan benci menyatu padu menjadi satu.

Rindu ini akan membunuhku secara perlahan.

***

Tidak ada orang yang tahu apa yang akan terjadi setelah membuka pintu atau menutup pintu.
Tidak juga aku.

Dan tidak pula kamu.

Dulu aku yang selalu menutup pintu rapat-rapat ternyata kecolongan. Kamu bisa membuka pintu itu, yang entah kuncinya bisa kaudapat dari mana. 

Kini pintuku terbuka lebar, terlalu lebar sampai aku harus merasakan sakit entah untuk keberapa kalinya.
Aku tidak memaksamu untuk menutup pintuku kembali. Aku hanya tidak tahu kenapa aku tidak bisa menutup pintuku sendiri. Aku tidak memahami diriku sendiri yang mengapa membiarkan pintu itu terbuka lebar untukmu.

Rasanya menyakitkan. Sekaligus menyesakkan.

Tapi yang aku heran, kenapa aku mau merasakannya hanya untuk sosok sepertimu?

Aku meringis. Tentu saja aku mau. Kamu seperti malaikat. Datang dan memberikan secercah kehangatan lewat senyumanmu. Kamu berpendar cerah, membuatku melupakan dukaku.

Dan kamu, pada akhirnyapun menghilang. Kamu terlalu pintar sampai aku tidak bisa mengendus jejakmu. Hanya sekadar memintamu bertanggung jawab atas rindu yang sudah berhasil kamu tumbuhkan di dasar hatiku yang beku.

Rindu itu semakin membuncah dari waktu ke waktu. Kadang aku takut aku akan kehilangan jiwaku, hanya karena aku begitu mengharapkanmu datang melewati pintuku yang terbuka lebar. Tapi memang hanya kamu obat atas segenap rindu ini.

Bukan yang lain. Hanya kamu.

Aku tidak pernah tahu apa yang akan aku rasakan lagi ketika aku menyadari pintuku hanya untuk dirimu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak benar-benar bisa melupakanmu dan membiarkan pintu itu diisi oleh orang yang lebih berhak.

Tapi bagiku itu memang hanya kamu. Bukan orang lain.

Aku memeluk lututku. Mencengkeram erat dan membenamkan wajahku di sana. Aku terisak kuat. Terlalu kuat sampai aku merasakan ada yang mau meledak dari dalam tubuhku. Entah itu hatiku atau jantungku.
Isakanku semakin menjadi begitu aku menyadari ini tahun kedua aku menunggumu dan kau tak kunjung hadir dalam pandanganku. 

Tidak ada dirimu yang berdiri di ambang pintuku.

Tidak ada dirimu yang mencabut panas membara rindu yang membakar jiwaku perlahan.

Tidak ada dirimu yang mengobatiku dari rindu menahun ini.

Yang ada hanya aku, rindu, dan hentakan waktu yang terus merobek nadiku.

Kenyataannya, merindukanmu adalah caraku menyakiti diriku sendiri.

Dan menunggumu yang entah akan kembali atau tidak, itu hal yang sangat menyiksa batinku. []

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Jendela yang Bercerita Published By Gooyaabi Templates | Powered By Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com