Karena hidup itu seperti jendela. Yang memiliki cerita berbeda, di setiap sisinya.

Senin, 02 Juni 2014

Rasanya Memang Menyakitkan. Aku Tahu Itu.

(gambar ini juga nyolong dari punya teman :P)
“Tita?”

Aku hanya tersenyum kecil, menatap sosok dihadapanku dengan gusar. Senyumku nyaris saja pudar. Tetapi demi melihatnya tersenyum lebar ke arahku, aku memaksakan senyumku terbentuk kembali.

Aku bahkan tidak peduli pada dadaku yang berdenyut nyeri. Aku hanya perlu tersenyum. Itu saja. Karena aku tahu, yang diinginkannya, hanyalah senyumku. Aku mengerti, yang ia mau, bahwa aku, yang baik-baik saja.

Rasma memelukku, erat. Lalu aku merasakan bahuku hangat. Aku juga mendengar isakannya yang terdengar menyakitkan. Mati-matian aku menahan air mataku agar tidak tumpah. Aku hanya balik memeluknya, tanpa mengatakan apa-apa.

Getaran-getaran kecil tubuh Rasma terasa dikulitku. Tangan kananku beranjak naik, mengusap rambut hitam panjangnya yang lembut. Aku bergumam-gumam kecil. Membisikkan kalimat pelan-pelan di telinganya.

Bagiku, tidak ada alasan untuk membahagiakan Rasma. Tidak ada alasan untuk membuatnya sakit hati. Kebahagiaan Rasma, adalah segala-galanya bagiku.
Aku bahkan tidak peduli seberapa besar sakit yang akan kuterima. Aku tidak peduli apapun resikonya. Aku tidak takut. Ketakutanku hanya satu; melihat Rasma jatuh. Aku akan membenci diriku seumur hidupku, jika aku melakukannya.

“Tita, kamu nggak apa-apa, kan?” Rasma berucap tidak jelas. Kepalanya masih bersandar di bahuku.

Aku memaksakan senyumku, “Tentu saja.”

Rasma mengangkat kepalanya. Manik mata hitamnya menatapku lekat-lekat, “Kebiasaan,” lanjutnya, terkekeh.

Aku tersenyum kecil. Aku tidak apa-apa, dan Rasmapun demikian. Rasma pasti akan kembali seperti sedia kala. Tertawa dan tersenyum lagi. Sahabatku itu memang kadang-kadang bisa berubah sesuai keadaan hatinya.

 Rasma menatapku lagi. Air wajahnya berubah keruh, “Maaf, Ta. Maaf. Aku nggak ada maksud,” ujarnya.

Aku menggelengkan kepala, “Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena kamu memang tidak salah.” Aku meralat. Lalu sekali lagi, memaksakan senyumku.

“Makasih, Ta, makasih,” lanjutnya, lalu mendekapku erat.

“Kalau kamu butuh aku, hubungi aku, Ra. Jangan sungkan-sungkan,” kataku, “kamu, kan, sudah biasa membuatku repot,” candaku, lalu terkekeh dengan kikuk.

“Siip,” balasnya, “Janji, ya?”

Aku mengangguk. Melupakan gelenyar aneh yang kembali menyerang dadaku, “Kapanpun kamu membutuhkanku.”

----

Di sudut kamar, aku memeluk lututku dengan erat. Tangan kananku yang bebas mencengkeram dadaku dengan kencang. 

Dadaku terasa nyeri, sakit, dan perih. Rasanya lebih sakit dari sekadar patah hati.

Aliran air hangat meluncur bebas di pipiku. Aku tidak menyesali keputusanku untuk Rasma, sama sekali tidak. Tapi aku menyesali diriku, yang tidak terlalu kuat untuk masalah seperti ini.

Nyatanya, aku begitu rapuh. Sangat rapuh. Buktinya, aku menangis. Parahnya, aku menangis tanpa bisa kutahan. Terus menangis sampai aku merasakan dadaku sakit, seakan mau pecah. Aku memang tidak berguna.

Alasanku membuat keputusan yang menyakitkan untukku, adalah aku menyayangi Rasma. Lebih dari rasa sayangku pada diriku sendiri. Rasma adalah sahabat, yang entah sejak kapan, selalu ingin kulindungi, selalu ingin kubuat bahagia, dengan caraku sendiri.

Dia gadis yang begitu rapuh. Seperti sayap kupu-kupu. Dia bisa hancur, kapan saja. Karenanya, aku siap melakukan apapun untuk Rasma. Tidak peduli itu akan menyakitiku diriku sendiri.

Aku membiarkan Rasma bahagia, dengan anak laki-laki, yang kupuja diam-diam sejak dulu. Aku membiarkan Rasma, memiliki anak itu. Aku tidak peduli bagaimana sakitnya hatiku, walaupun detik ini, aku tengah menangis.

Rasma berbeda denganku. Dia gadis yang ketika sakit, tidak bisa tersenyum. Beda denganku, yang walaupun sakit, masih bisa tersenyum. Itulah kenapa aku ingin selalu membuatnya tersenyum. Aku tidak akan memaafkan diriku kalau senyumnya lenyap dari wajah Rasma.

Dalam cinta, tidak ada yang kalah maupun menang. Begitupun aku. Walaupun aku menyebutnya mengalah, sebenarnya tidak. Tidak ada sebutan mengalah untuk cinta. Aku melepaskan anak laki-laki itu, untuk Rasma.

Aku memang tidak mengalah. Tapi entah mengapa, aku lebih suka menyebutnya mengalah. Sejak kecil, aku dilahirkan untuk kalah.

Dan saat ini, aku sedang dikalahkan.

Dikalahkan oleh rasa sakit yang menyerbu hatiku, juga tubuhku.

Biarkan saja Rasma tidak tahu bagaimana keadaanku saat ini. Yang terpenting, aku mengetahui bagaimana bahagianya dia saat ini.

Bukankah seperti ini seharusnya? Mementingkan orang lain yang kita sayangi daripada diri sendiri? Atau sebenarnya, aku takut tidak ada lagi orang yang akan menyayangiku?
---

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Jendela yang Bercerita Published By Gooyaabi Templates | Powered By Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com