Karena hidup itu seperti jendela. Yang memiliki cerita berbeda, di setiap sisinya.

Kamis, 18 September 2014

Sebuah Ruang dengan Satu Jendela

Suka banget sama gambar ini :3
Hitam. Pekat.

Kupikir, tadinya aku tengah bermimpi, melawan naga raksasa, atau apa. Tapi ternyata, setelah kucubit lenganku dan kutampar pipiku, semua terasa nyata. Haaah, ini memang klise. Tapi aku tidak bisa membuktikan dengan cara lain selain cara itu, yang sering kulihat pada sinetron membosankan yang sayangnya, selalu ada setiap hari, setiap waktu, pada channel yang berbeda. 

Aku menghembuskan napas, lalu menatap sekitar dengan goyah. Kalau ini bukan mimpi? Lalu..aku ada di mana? 
Ketika aku sedang termenung dalam kebingunganku sendiri, suara barang pecah belah yang terjatuh, memekakkan telingaku. Aku langsung terjaga. Mataku bergerak liar. Saat aku berbalik, seorang berdiri dengan jarak sekitar dua meter dariku.

Sepertinya dia laki-laki. 

Dia mulai berjalan mendekat dan aku terpaku di tempat.

Akhirnya kita bertemu. Rasanya...sudah lama sekali sejak hari itu, ya? Kau ingat, hm?

Dingin. Beku.

Dia berjalan lebih dekat. Tepat sebelu kulitnya menyentuh kulitku, aku menjerit tertahan. Sosok di hadapanku, menyeringai puas.

*

"Ada yang datang."

"Siapa?" tanyaku sambil memperhatikan sekitar dengan linglung.

Kamu hanya menggeleng, bilang tidak tahu. Tapi, katamu memang ada yang datang. Katanya, kamu mendengar bunyi derap kaki dan suara orang yang memanggil namamu. Ketika aku bertanya lagi, kamu bilang, kamu benar-benar yakin ada yang datang.

"Jangan berisik," katamu lagi. Kamu meletakkan telunjukmu di bibir, mengisyaratkan agar aku diam. 

Aku menaikkan alis, memasang telinga dengan siaga. "Memangnya, siapa yang datang?" tanyaku dengan suara rendah. Nyaris berbisik.

"Seseorang," jawabmu menjeda. "Dia mencariku dan...kamu."

Aku diam dan diam-diam bergidik ngeri. Ada yang mencariku dan kamu? Memangnya kami ada urusan apa? 

Dia mendekat, Rhe.

Gigiku bergemeletuk keras. Rasanya ingin mati di tempat. Aku mencekal lenganmu erat-erat. Tapi detik selanjutnya, aku merasakan lenganmu pupus dan tergerus. 

Kamu mengabur, termakan angin. 

"Drew!" teriakku kalut. Aku memperhatikanmu yang samar-samar terasa hilang dari hadapanku.

Kamu tidak peduli aku menyerukan namamu berapa kali, karena kamu hanya diam dengan mulut terkatup. 

Aku tidak yakin apa yang terjadi selanjutnya. Tapi..yang jelas, sosokmu sudah tidak ada lagi di hadapanku. Sosokmu sudah lapuk.

Dan aku...berdiri mematung dengan tangis pecah.

Kita akan bertemu lagi.

*

"Bagaimana, kau ingat denganku tidak?"

Bibirku bergetar dan seluruh tubuhku terasa lemas, "D-drew?" 

Sosok laki-laki di hadapanku tertawa, "Ya," katanya sambil mengangguk. "Ternyata kau butuh waktu untuk mengingatku. Hmm, apa itu memang sudah lama sekali?"

"Ak-aku tidak--"

"Sudahlah," tegasmu memotongku. Aku berdiri gemetar di tempat dan sepertinya itu sangat kentara karena kau tertawa renyah, lalu menatapku tajam, "Kau pikir aku menakutkan, hm?" tanyamu dengan nada dingin.

Tentu saja! jeritku tak perlu berpikir dua kali. Kamu berdiri menjulang di hadapanku, setelah sekian lama kamu pergi entah kemana. Suaramu berubah dingin dan tatapanmu meruncing, Apa kamu tidak sadar bahwa dulu kamu sangat ramah dan menyenangkan?

Dan yang terpenting adalah...ini di mana?! Kenapa ruang yang tadinya gelap pekat sekarang berubah terang samar? Oke, itu memang lebih baik, tapi kalau berubah tiba-tiba apa itu benar-benar baik? 

"Kita harus bicara," serumu tegas. Dan aku yakin itu lebih mirip perintah yang tidak bisa dibantah. Jadi aku mengangguk ragu dan menatapmu takut.

"Mau ke mana?" tanyaku heran sambil menatapmu yang mulai melangkah.

"Ikuti aku," tanggapmu tanpa menoleh barang sedikit. Aku mendengus keras dan kamu berbalik, seoah mendengarnya. "Jangan takut, aku mengawasimu," katamu lembut dan membuat bulu kudukku merinding.

Kita tidak pernah berpisah, Rhe.  Asal kamu tahu.

*

"J-jadi?" tanyaku padamu. Aku menatap ruangan pengap dengan satu jedela ini. Ruangnya memang tidak gelap, harus kuakui. Tapi sungguh, ini benar-benar tidak bagus karena kamu berdiri di sisi sana, menghadap jendela. Sosokmu yang tinggi menjulang termandikan sinar membuatmu tampak menyala dan siluetmu tampak menakutkan dari belakang.

"Drew?"

"Aku selalu di sini," katamu memulai. Aku diam, mendengarkan. "Aku di sini, menunggumu datang, menunggumu membawa sekotak senyuman, dan menunggumu membawa segenggam mimpi. Seperti biasanya.

"Tapi lama kutunggu, kau tidak datang juga. Aku lelah." Kamu berbalik, menatapku dengan mata gelap yang runcing. "Apa semudah itu kamu melupakanku?!"

"Ak-aku tidak!" kataku keras. Sungguh aku tidak melupakanmu. Kamu yang berdiri di hadapanku. Hanya saja...saat itu kamu pergi dan aku tidak tahu harus apa. "Aku tidak tahu bagaimana cara untuk menemuimu, setelah hari itu. Kau harus tahu itu!"

"Oh, ya?" serumu dengan seringai menakutkan itu. Kamu tertawa remeh melihatku berdiri dengan getir. "Kau tahu rasanya menanti tanpa dihargai?" tanyamu seraya melangkah mendekat.

"Ap-apa?" tanyaku gugup. Atmosfer di sana langsung berubah kelam dan beku. Aku tidak tahu kenapa, tetapi ruang itu lama kelamaan menggelap dan jendela satu-satunya itu hilang.

"Drew?" aku takut, sungguh. Tapi kenapa kamu tidak menjawab dan malah membuatku semakin takut? "Drew? Kumohon aku--"

"Apa? Aku boleh mendengar kalimat selanjutnya?" katamu dingin. Aku tidak tahu kamu ada di mana, yang jelas, kamu rasanya begitu dekat.

Aku mulai menangis. Aku takut. Tapi kenapa kamu tidak menawarkannya? Aku benci kegelapan, tetapi kamu kenapa malah membuatnya semakin kelam? Aku menelan ludah dengan susah payah dan tersedak dengan ketakutanku.

Drew, kamu tidak pernah pergi dari sini dan aku tidak pernah berniat untuk menghapusnya.

"Hmm, kamu suka gelap, kan?"

"Drew!" kataku gusar. "K-kenapa? Kenapa Drew?"

"Kamu tidak menemuiku!"

"Aku menemuimu, Drew. Aku selalu menemuimu," seruku serak. Tangisku yang pecah semakin menjadi. "Aku tidak pernah menghapusmu, Drew."

Hening.

Kupikir kamu pergi, tetapi tidak. Beberapa detik kemudian, ruangan itu kembali terang. Dan aku merasa sesuatu yang dingin menyentuh leherku. Aku menelan ludah susah payah.

Drew...

"Kamu belum menemuiku," katamu tepat di telingaku. Sesuatu yang dingin di leherku bergerak dan itu semakin membuatku kalut. "Aku mencintaimu, Rhe. Bagaimana kalau aku buat kamu selalu di sampingku dan hanya milikku?"

Aku membolakan mata. "M-maksudnya?"

"Kau tahu maksudku!" katamu geram.

Detik selanjutnya, aku merasakan sesuatu mengalir dari leher sampai kakiku. Leherku terasa sangat sakit dan perih. Rasanya seperti tercekat. Aku melihatmu, tersenyum penuh kemenangan dan menelisik mataku dalam-dalam.

Ketika aku menatap ke bawah, genangan berwarna merah kental ada tepat di bawahku. Bau amis tersebar kemana-mana dan aku merasakan sakit luar biasa. 

Drew...

Aku menangis lagi. Merasakan sakit yang menggelegak dari dasar hati. Perlahan, entah mataku yang mengabur atau apa, ruangan itu kembali menggelap. Aku jatuh bersimpuh di dalam genangan kental itu.


Kedua kelopak mataku menyatu, tetapi sayup-sayup aku mendengar suaramu yang tepat di telingaku, "Nah, sekarang kita selalu bersama. Hanya aku, Rhe. Hanya aku yang mencintaimu dengan sangat."

Drew.... []

4 komentar:

  1. bagus kaka naila :D
    itu si Drew udah mati mbok ceritanya??
    nice, aku jadi terinspirasi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih;)
      Waah kalau jawaban itu masih belum bisa aku kasih tahu, soalnya si Drew sombong sama aku. Dia orangnya tertutup, nggak selalu ngasih jawaban kalau ditanya. Jadi sori yaa:p
      Senang bisa menginspirasi.
      Salam dari Drew, Rhe, dan diriku--yang astral.

      Hapus
    2. wkwk :v astral :D
      ka, tolong kasih contoh yg cermis dong.. :)
      arigato :)

      Hapus
  2. Tottemo Kakkoii!!!! <3 >_< pengin aku bikin komiknya >< tapi banyak bagian yang bingung kalo digambar ._.a #29/ iis a

    BalasHapus

Copyright © Jendela yang Bercerita Published By Gooyaabi Templates | Powered By Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com