Karena hidup itu seperti jendela. Yang memiliki cerita berbeda, di setiap sisinya.

Jumat, 19 Desember 2014

Sebuah Ruang dengan Satu Jendela #2 : Waktu yang Terkelupas

Lupa ambil di mana._.v Tapi keren banget:3




Aku mencium berbagai macam bau. Anyir, amis, dan bau menjijikkan lainnya yang menyaru dalam organ penciumanku. Sementara itu, aku mendapati sesosok tubuh yang bersimpuh kaku dalam kubangan cairan sewarna merah kental. Aku berdecak, menatapmu yang tidak lagi bergerak, kemudian mendengus.

Ruang ini terlalu gelap dan kelam. Diam-diam, aku merasakan gejolak menyakitkan dari dasar hatiku. Tetapi aku diam saja. 

Lamat-lamat, ruang itu kembali terang. Satu-satunya jendela di ruang itu membuat mataku tergiring dan jatuh menatapnya untuk beberapa waktu. Pelan-pelan, aku mengambil napas dan menyatukan kelopak mataku.

Sudah tidak lagi gelap, Rhe. Dan sebentar lagi, waktunya.
 Aku mengeluarkan napas dengan gusar seiring kelopak mataku yang terbuka kembali. Aku kembali menilikmu. Kulitmu yang putih sekarang sewarna pucat berbalur merah, sementara kedua kelopak matamu menyatu.
 
Aku tersenyum tipis, sedikit merasa lebih lega.

Kalau sudah begini, kita akan selalu bersama, Rhe.

*

Aku dan kamu sering melakukan berbagai hal bersama. Kamu sangat menyenangkan. Kali ini, aku dan kamu bermain di sepetak tanah kecil di halaman belakang rumahku. Dulu, satu rumah yang hanya memiliki satu ruang dan satu jendela berdiri kokoh di atas tanah itu. Rumah itu akhirnya diratakan dengan tanah oleh pemiliknya, yang diduga seorang pria tua kesepian. Dan sekarang, semua itu tinggal sepetak tanah kecil, tanpa ada apapun di atasnya.
Kamu menggelar tikar di atas tanah. Seperti biasa, kamu membawa setumpuk komik serial detektif dan beberapa potong roti buatan ibumu. Aku selalu suka menikmatinya denganmu. 

Tapi beberapa detik kemudian, aku merasa ada sesuatu di sekitar kami. Adrenalinku langsung terpacu. “Ada yang datang,” kataku seraya menatapmu yang tengah mengunyah roti.

Mendengar hal itu langsung membuatmu spontan menatap sekitar dengan linglung. 
“Siapa?”

Aku hanya menggeleng dan bilang tidak tahu padamu. Aku benar-benar tidak tahu, tetapi aku yakin memang ada yang datang. Telingaku bisa menangkap jelas bunyi derap kaki tegas dan suara berat seseorang yang menyerukan namaku. Kamu kembali bertanya, dan jawabanku sama, aku yakin ada yang datang.

Kembali aku memasang telinga, berjaga dengan waspada, “Jangan berisik.” aku menggumam sembari meletakkan telunjuk di bibir, memberi isyarat agar kamu diam.

“Memangnya siapa yang datang?” tanyamu lagi. Kali ini dengan suara rendah, nyaris berbisik.

“Seseorang,” jawabku menjeda. “Dia mencariku dan...kamu.”

Aku merasa seseorang itu semakin dekat. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi aku berusaha menelisik sekitar dengan waspada.  Dan aku semakin merasa orang itu semakin dekat saja. “Dia mendekat, Rhe.”

Aku mulai merasa takut dan aku juga tahu kamu merasakan hal yang sama. Aku ingin melindungimu, sungguh, tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana. Yang aku sadari, kamu mencekal lenganku erat-erat, benar-benar ketakutan.

Tapi detik selanjutnya aku tidak bisa merasakan tubuhku sendiri. Aku merasa sangat ringan dan angin serasa seperti menusukku tanpa henti. Rasanya menyakitkan.

Saat itulah, aku melihatmu menatapku dalam dan berteriak, “Drew!” dengan kalut. 

Aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak tahu harus bagaimana.

Jadi, aku hanya diam dengan mulut terkatup. Balas memperhatikanmu dan berusaha untuk tidak melupakan hasil pahatan memesona wajahmu.

Aku merasa semakin hilang, tetapi samar-samar aku masih melihatmu. Melihatmu berdiri dengan tangis pecah.

Aku merasa sakit luar biasa. Sebelum bayangmu benar-benar hilang dari pandanganku, aku menggumam, kita akan bertemu lagi.

*

Aku menatap ruang kosong di sekitarku dengan linglung. Ruang itu gelap, pengap, dan dingin. Maksudku, benar-benar dingin. Kugulirkan mata, menatap sekeliling dengan lebih teliti. Hanya ada satu jendela yang tidak bisa diharapkan. Benar-benar tidak bisa diharapkan karena tidak ada cahaya yang menyeruak masuk dari jendela, setidaknya memberi penerangan di ruang gelap ini.

Tidak ada siapa-siapa. Ruang itu kosong. Hanya aku. Hanya ada aku yang berdiri di ruang itu, kebingungan.   

Ketika aku tengah meneliti ruang itu dengan seksama, suara derap langkah kaki yang bertalu dengan lantai membuatku sontak menoleh dengan waspada. Dari kegelapan, lamat-lamat, sesosok orang tinggi menyeruak keluar. 

Setelannya hitam—jubah yang menutup tubuhnya, tubuhnya benar-benar tinggi dan tegap. Dengan langkahnya yang tegas, dia datang ke arahku dan aku sibuk mengontrol emosiku yang entah kenapa tiba-tiba meluap.

“Halo, anak muda,” sapanya dengan suara yang berat dan rendah.

Aku tidak menjawab. Lebih karena penasaran dengan apa yang dilakukan orang itu di ruang gelap ini. Otakku tidak bisa bekerja banyak, jadi kusimpulkan sendiri, bahwa orang itu yang membawaku ke sini. Itu masuk akal karena pakaiannya tidak wajar dan sosoknya yang tergambar mengerikan.

“Ya, aku yang membawamu, Nak.” Dia berseru seolah tahu apa yang aku pikirkan. Atau mungkin, wajahku dengan mudah terbaca.

Aku tetap bergeming. Tidak mundur, tidak juga gemetaran. Aku hanya diam mematung dan sibuk berpikir. Ruang ini hanya gelap; itu saja. Yah, setidaknya memang masih ada sensasi yang lain, yang pasti sudah kuberitahu. Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaan kamu di luar. Dan aku ingin keluar dari sini. Secepatnya. 

“Rhe akan baik-baik saja, Nak,” katanya lagi. 

“Bagaimana aku bisa tahu? Bagaimana kalau kamu malah mengurungku—“

“Santai, Nak.” Orang itu tertawa keras-keras. “Dia akan baik-baik saja. Asalkan...”

Aku bukan seorang penakut. Dalam hidupku, aku tidak pernah takut pada apapun. Tapi, aku takut. Aku benar-benar takut jika ada sesuatu hal yang bisa membuat kamu terluka. Kamu sudah seperti jantungku, darahku, dan semuanya yang membuatku hidup.

“Asalkan apa?” sergahku tidak sabar.

Dia hanya tertawa lagi. Lebih nyaring. “Ini tempat harapan, anak muda. Ruang dengan satu jendela. Kau pasti tahu ini di mana.”

Ruang dengan satu jendela. Ruang kecil yang gelap dan sempit. Aku menggulirkan mata, menatap ke sisi jendela. Seorang yang berdiri di hadapanku. Laki-laki tua.

Ha! Ini pasti rumah di petak kecil belakang rumahku. Tapi, bukankah semuanya sudah tidak lagi ada, sekarang?

“Tidak ada yang benar-benar hilang, Nak.”

Aku memperhatikan sosoknya yang tinggi menjulang. Dia mengarahkan tangan ke atas, memercikkan serupa kembang api, dan samar-samar kegelapan mulai tergerus. Berganti cahaya sewarna keperakan.

“Tapi—“

“Ini adalah ruang untuk harapan,” katanya. “Kau akan di sini, sementara kau terus berharap. Dia akan datang.”

Aku memelototkan mata. Aku benci menunggu. Benci berharap. Benci ruang ini. Aku ingin keluar. “Demi apapun, aku ingin keluar.”

Orang itu kembali tertawa. Dia menggerakkan tangan kembali dan percikap serupa kembang api kembali terlihat. “Kau akan di sini, karena telah menggantikanku.”

“Tunggu!” cegahku sebelum kegelapan menyelimuti keseluruhan ruang. “Aku ada di—“

“Sampai jumpa, Nak.”

Ruang itu menggelap—benar-benar gelap dan menyisakan dingin yang menusuk-nusuk tubuhku. Aku mulai menggigil dan gemetaran.

Aku..harus bagaimana?

*

Aku menatap kamu yang masih bergerumul dengan cairan merah kental yang amis itu. Sembari menghela napas kuat-kuat, aku mengarahkan tangan ke atas. Berikut kembang api terdengar melecut samar dan cahaya sewarna hitam-keperakan menyeruak, menyelimuti ruang itu.

Kutatap sosokmu yang tanpa senyum dengan kelopak mata menyatu.

Kita akan selalu bersama, Rhe. Bukankah aku pernah mengatakannya?

Kelopak mataku menyatu dan sebuah lecutan keras kembali terdengar, menggaung di seluruh ruang. 

Ketika aku membuka kelopak mataku, ada dua kursi yang saling berhadapan. Di salah satunya, kamu duduk di sana, memamerkan senyum menggantung di bibirmu. Kamu menatapku penuh, meskipun aku tahu sebenarnya kamu bingung.

Jadi aku tertawa dan duduk di salah satu kursi yang tersisa. “Hai,” kataku memulai.

Kamu tersenyum lebar. “Halo.”

Kamu memperhatikan sekitar, jadi aku ikut memperhatikan. Ruang itu masih sama—setidaknya, masih sempit dengan satu jendela. Tapi, ruang itu tidak lagi gelap. Cahaya sewarna hitam-keperakan menyorot dari kisi-kisi jendela, menerangi ruangan. Suasananya tidak lagi dingin, tetapi kehangatan samar.

“Jadi, kita dimana?”

“Bukannya itu tidak penting?” kataku. Melihat kamu yang cemberut aku tertawa keras. 

“Yang terpenting, adalah, kita berdua. Ya, kan?”

Kamu mengangguk. “Kita selalu bersama, kan?”

“Ya,” kataku sambil mengangguk. “Kita selalu bersama, Rhe. Selalu.”

Kamu tertawa. “Aku percaya.”

Ya, karena hanya aku, hanya aku yang mencintaimu dengan sangat. []
Pict dua kursi di ruangan itu:3

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Jendela yang Bercerita Published By Gooyaabi Templates | Powered By Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com