Kegelapan. Kegelapan.
Aku
memaksa kelopak mataku terbuka dan tetap terjaga. Meskipun aku begitu membenci
kegelapan dengan segenap kekuatanku. Tempat ini terlalu gelap. Pun dengan
oksigen yang serasa habis karena aku merasa sangat sesak.
Kegelapan yang
pekat dan hitam sempurna.
Ketika
aku baru saja berpikir untuk mengambil langkah, entah kemanapun itu, aku
mendengar dentum langkah kaki dengan lantai mendekat. Karena tidak ada cahaya
barang sedikit, aku hanya memperkirakan dari mana suara itu berasal dan
menolehkan kepala. Suara itu semakin dekat. Aku bisa mendengarnya bertalu di telinga
kiriku. Langkah kakinya terdengar mantap dan tegas. Aku menjaga mataku agar
tetap waspada. Siapa pun itu, dia patut dicurigai.
Tunggu.
Langkah kaki itu berhenti.
“Halo,
nona. Selamat datang.” Tepat ketika suara itu datang ke telingaku, cahaya seolah
datang dari mana saja. Ruang. Ruang itu menyala.
Terlalu terang.
“Baiklah,
akan kuulangi.” Suara berat itu terdengar lagi. “Selamat datang.”
Aku
tergugu melihat anak perempuan yang berdiri menatapku dengan tajam. Dia manis.
Sungguh. Irisnya sewarna merah yang nyala. Begitu pas dengan rambut panjangnya
yang sewarna merah darah.
Dia..., terlalu
menakjubkan.
Mendapatiku
yang hanya menatapnya penuh dengan bibir terkatup, dia menyeringai. Aku nyaris
tersedak dengan ludahku sendiri begitu melihat seringai itu. Seringai licik
yang dibalur dengan decihan remeh.
Apa-apaan dengan
aura ini. Auranya menyeramkan!
“Ah,
kau memang menjengkelkan,” katanya. Suaranya yang berat terdengar tajam dan
dingin. Itu bisa membekukanku. “Jadi, kenapa kau ke sini?”
Aku
juga tidak mengerti. Aku menilik ruang itu. Aku tidak mengenali ruang itu.
Tidak sama sekali. Aku juga tidak ingat kenapa aku bisa ada di sini. Yang
jelas, kegelapan yang aku lihat saat aku sadar aku masih ada di kamar,
menyeretku begitu saja.
“Kau
datang pada saat yang tepat, sebenarnya,” ujar anak perempuan itu membuatku
mematutnya lagi. Dia menyeringai dengan rupa khas yang sama.
Aku
bergidik. Masih tidak menyangka anak perempuan menakjubkan itu memiliki
seringai dengan rupa khas yang terlukis licik dan mengerikan. Oh ayolah, aku
tidak suka berada di sini.
Tapi
anak perempuan itu sepertinya tidak berpikiran sama denganku. Tiba-tiba saja
dia sudah ada di hadapanku, menatapku dengan iris merahnya yang menyala. Dia
menatapku lamat. “Aku tidak suka kedatangan tamu,” katanya. “Tapi mau bagaimana
lagi,” ujarnya sembari mengangkat bahu singkat. Sekali lagi, dia menyeringai,
menatapku dalam. “Karena kau sudah datang, akan sangat tidak sopan jika tidak
memberi ‘selamat datang’ yang lebih
istimewa, kan?”
Anak
perempuan itu beranjak dengan gerakan cepat. Aku meneguk ludah. Apapun ide itu,
aku yakin itu bukan ide bagus.
“Aku—“
“Jadi,
selamat datang?” sergah anak perempuan merah itu cepat. Tahu-tahu dia sudah
berada sangat dekat denganku. Aku membelalak, merasakan sesuatu yang dingin
menyentuh kulit leherku. Dia menyeringai lagi. Kali ini membuatku muak,
sekaligus takut.
“Kau
memang datang pada saat yang tepat, nona.” Anak perempuan itu menatapku tajam.
Irisnya yang sewarna merah terlihat menyala lebih terang ketika cahaya lampu
menimpanya. Dia menyala. Sosoknya membara. Dia mengikis jarak dengan
anggun.“Selamat datang!”
Tepat
ketika suaranya yang lantang itu terdengar, aku merasakan sakit luar biasa di
daerah leherku. Rasanya seperti ada benda yang menyumbat tenggorokanku.
“Ah,
pisaunya menancap sempurna,” tukas anak perempuan itu. Dia tersenyum lebar,
seakan memang itu yang seharusnya terjadi. “Biar aku ambil, ya?”
Mataku
membeliak lebar. Anak perempuan itu mengambil benda yang menyumbat
tenggorokanku dengan sekali gerakan. Rasanya lebih dari sakit. Mulutku terasa
penuh. Ketika aku terbatuk, aku memuntahkan sesuatu yang kental. Bau amis ada
di mana-mana.
Sial! Rasanya
sakit dan aku tidak bisa berhenti terbatuk!
“Hee,
kenapa kau belum mati?” Aku mendapati anak perempuan merah itu berdiri tegap
dengan pisau dan bagian depan tubuhnya dilumuri darah. Dia mengambil langkah
mendekatiku. “Sekali lagi, bagaimana?” dia memainkan pisaunya dengan riang.
Matanya menatapku dengan sorot tertarik.
Jangan! Jangan
lagi, sungguh.
Tapi
dia melakukannya lagi. Dengan gerakan yang tidak bisa kuikuti, dia memainkan
pisaunya lagi. Kali ini, aku merasakan sakit di atas perutku. Sakit. Aku langsung
terbatuk dengan air mata yang keluar deras dari mataku.
Anak
perempuan itu menatapku puas. Dia tertawa ringan sembari menarik kembali
pisaunya. Tidak memperdulikan aku yang tersungkur, tenggelam dalam kubangan
sewarna merah kental yang berbau amis dan anyir yang pekat.
“Nah,
sudah selesai.” Dia menatapku sekali, lalu mulai berjalan pergi.
Aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Aku juga hampir tidak lagi bisa merasakan tubuhku.
Tubuhku terasa ringan dan semakin ringan seiring dengan kelopak mataku yang memberat.
Pun dengan sakit luar biasa yang mencekik tubuhku. Aku tidak bisa berbuat
apa-apa, kan?
Sebelum
aku benar-benar tumbang, aku melihatnya. Anak perempuan itu berjalan menuju
lorong. Rambut merah darahnya berayun, menyalakan kobaran api pada bingkai
sosoknya. Dia memang menakjubkan. Tubuhnya membara api.
Aku
merasakan dentuman hebat di kepalaku. Pandanganku mulai kabur. Ruang itu
perlahan lapuk. Termakan dengan kobaran merah api yang membara. Semuanya akan
pupus, sebentar lagi.
Tapi,
sebelum semuanya benar-benar hancur, aku melihatnya lagi. Anak perempuan yang
sosoknya membara api. Dia berjalan cepat. Membuat semuanya sewarna merah api berkobar
dengan penuh.
Semuanya
terbakar dalam warna merah yang membara.[]
Sadis dan meringis. Bau anyirnya sampai berasa ke sini. :-/
BalasHapusHuwaa ternyata ada komentarnya kakak di sini *ini apaan*
HapusWah, saya sendiri malah enggak ngerasa apa-apa pas nulisnya, hihi:3
Terimakasih sudah membaca:D Semoga menyalurkan rasa ngeri~