Karena hidup itu seperti jendela. Yang memiliki cerita berbeda, di setiap sisinya.

Sabtu, 07 Maret 2015

Imitasi Rasa




Dalam jarak yang terekam, romansa adalah cerita para pengembara. Cerita yang dituturkan hanyalah bualan belaka, pengantar tidur yang membosankan. Tidak perlu dipercaya, toh rasanya tetap sama. Hampa.

Tapi, nyatanya ada ribuan kisah yang tidak tertuturkan. Ada yang tidak tersampaikan. Begitu pula denganku, yang hanya diam dengan bibir terkatup, menutup semua pintu.

Rasa sesak dari sebuah cerita cinta adalah candu. Sedangkan rasa bahagia adalah bonus. Tidak ada yang khusus dari sebuah cerita cinta. Terlebih, cerita cinta milikku. Toh ceritaku hanya berisi tentangku, kau, dan jarak yang tak kunjung memupus. Pun dengan ujung yang tak kunjung memadu.

Jika kau bertanya, apa yang paling menyakitkan dalam sebuah kisah percintaan, jawabannya bukan kisah cinta tanpa hubungan pasti. Bukan juga kisah cinta yang digantung tanpa menyisakan alasan. Bukan pula tentang kisah cinta yang patah berkali-kali.

Aku merasakan yang lebih hebat dari itu. 

Kau bilang, aku adalah entitas untukmu. Dan aku bilang, atensiku adalah dirimu.

Tapi bagaimana pun, cinta tidak semudah itu. Tidak pernah sesederhana itu.

Nyatanya, kau memintaku maju, berjalan beriringan, sembari membagi kisah. Tapi aku menolak untuk mengambil langkah. Aku hanya diam, memaku diri tanpa bergerak barang satu langkah.

Yang kau tanya, adalah kenapa. Pertanyaan memuakkan yang terus kauulangi untukku.

Aku bahkan tidak ingat menjawab apa kala itu. Yang kuingat, aku hanya tidak mau membagi luka. Tidak mau kembali menumpuk luka. Nyatanya, luka itu seperti candu. Yang bila tidak kurasakan, rasanya aku hanya bisa mengangkat sebelah alisku tinggi. Yang bila tidak berdenyut menyakitkan, rasanya aku hanya bisa mengerjap heran. Yang bila tidak menyerangku sampai lupa menyesap senang, aku hanya bisa berdecak takjub.

Tapi luka adalah luka. Nyatanya, dia berhasil mematikan syarafku. Berhasil menghentikanku sejenak saat mengambil napas, sembari menggumam dengan lamat, ‘kau apa kabar?’. Nyatanya, dia pun bisa membuatku mendadak bisu, saat melihatmu melintas dalam jarak. Membagi senyum dengan sosok asing dalam genggamanmu.

Dan luka adalah luka. Yang mampu menyerangku tiba-tiba, saat kau menerobos masuk melalui iris mata.

Saat aku menyadari, aku sudah kosong. Tidak lagi mampu menyesap rasa cinta. Aku tidak menyesal. Tidak pula merasa dendam.

Hanya saja, walau sudah terbiasa dengan lara, kenapa hanya mendengar namamu terucapkan, kenapa geletar menyakitkan menusuk bagian diriku? Kenapa pula rasanya ngilu?

Pahamku, cinta adalah wujud nyata dari lara. 


(Saya tidak suka hal yang berbau romansa, percintaan, atau apalah namanya itu. Saya jauh dari hal itu.  Tapi, ini pengalaman saya. Dan bagi saya, sampai sekarang, rasanya tetap ambigu.)

Selasa, 03 Maret 2015

Tentang Dia; Apa Kabar?


Ambil di favim, lupa link utuhnya:v

Sudah nyaris dua minggu, mungkin? Rasanya lama sekali, kita tidak saling bertukar sapa. Terakhir kali kau mengunjungiku, aku dalam keadaan lelah, seperti biasanya. Kau datang, menyapa. Tapi seperti biasa, alih-alih menghiburku, kau malah tertawa, seakan aku hanya bisa terdiam, tidak bisa melakukan apa-apa.

Rasanya, beban menumpuk itu memang mengganggu. Tapi lagi-lagi, kedatanganmu menghapusnya. Seperti candu. Kau itu memang aneh, sekaligus menakjubkan. Aku tidak pernah bisa berhenti berdecak kagum, membiarkanmu berdecih aneh.

Biarkan saja, lagi pula, kenapa kau selalu terlihat menawan?

Saat itu, dalam keadaan lelah fisik, aku berseru marah. Kenapa kau selalu datang saat aku tidak fit? Kenapa tidak saat aku masih sanggup mengejarmu, mengikuti langkah kakimu?

Kau sendiri masih sama seperti saat yang lalu. Diam dan tidak merespon. Pura-pura tidak mendengar suaraku dan malah asik sendiri.

Mungkin saja, kau tidak ingin kuikuti. Tidak ingin membagi langkah denganku. Yah, aku sendiri juga tidak suka diikuti. Apalagi, kalau itu stalker. Kau memang tidak suka dengan stalker, kan?

Aku mengerti. Aku tahu.

Kau selalu saja begitu. Membuatku bosan dan kesal. Kau selalu bilang, bahwa kau tahu. Cih, seperti tahu segalanya saja! Tapi faktanya, kau memang tahu segalanya. Terlebih bila itu yang bersangkutan denganku.

Kuakui itu memang memudahkan. Tapi, tak pelak juga membuatku benar-benar kesal.

Dan reaksimu selalu sama, tawa lebar dengan suara keras.

Banyak yang bilang, kau hitam. Lebih hitam dari warna hitam yang pernah dijumpai. Kau terlalu pekat dan gelap. Hitam sempurna.

Tapi, bagimu, itu bukan masalah. Katamu, itu sama sekali tidak menyinggungmu. Lagi pula, kau selalu suka warna gelap. Bukan masalah.

Kau tahu, akhir-akhir ini aku merasa cemas. Takut dan bingung. Aku butuh bantuanmu, ingin berbicara banyak, seperti yang dulu kita lakukan. Aku ingin bertukar solusi, mencari yang terbaik.

Tapi..., kenapa kau tidak datang?

Bahkan, selama dua minggu penuh, aku selalu mencarimu. Menanyakan, mungkin saja ada yang melihat ke arah mana kau mengambil langkah pergi. Tapi, kau urung juga kutemukan.

Aku memang sedang ketakutan. Tanpamu, aku tidak bisa menjelaskannya. Denganmu, aku juga tidak tahu rasanya seperti apa. Intinya, ada atau tidaknya kamu, aku tidak tahu mana yang terbaik.

Yang kupikirkan, hanyalah, aku sedang membutuhkanmu.

Lama tidak jumpa rasanya aneh. Berjumpa juga rasanya aneh.

Yang jelas, sekarang kau ada di mana?

Kuharap, kau tidak sedang bermalas-malasan.

Kabarku baik saja, kalau kau ingin tahu. Yah, walau aku yakin kau sudah tahu kabarku dan malah berdecih, bilang bahwa aku tidak sedang baik saja. Terserahlah.

Jadi..., bagaimana kabarmu?

Copyright © Jendela yang Bercerita Published By Gooyaabi Templates | Powered By Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com