![]() |
(gambar aseli di sini Selebihnya editan pribadi :P) |
*
#Sepi—Tiara,
bersama rasa yang menyakitkan.
Aku tidak pernah berusaha mencintai bayangmu. Yang
kuusahakan selama ini, adalah mencintai dirimu. Sepenuhnya.
Tetapi, sebelumnya aku tidak pernah menyadari, bahwa mencintaimu
ternyata menyesakkan. Aku mencintaimu dan aku ingin memilikimu. Tapi nyatanya,
kamu sudah berpunya. Itu menyakitkan.
Tapi lebih menyakitkan, saat aku terus mencintaimu, tanpa
bisa memilikimu.
Kalau dulu ada orang yang berujar kepadaku, bahwa ada orang
yang terus bertahan mencinta walau tak bisa memiliki, aku akan menyebut orang
itu bodoh. Tapi fakta yang sekarang terjadi, adalah, aku berada di posisi yang
sama.
Tidak sekalipun dalam hidupku terpikir untuk mencintaimu.
Selama ini.
Dan tidak mencintaiku barang sedikit.
Aku ingin berlari dari kenyataan. Aku ingin bebas dari rasa
sakit ini. Aku ingin tidak mencintaimu. Tapi aku tahu, aku tidak akan sanggup melakukannya.
Walau barang sedikit saja yang kuusahakan. Tapi aku juga tidak bisa bertahan. Aku
rapuh, asal kamu tahu.
Aku harus
apa? Kenapa mencintaimu justru membuatku sakit?
Dear stupid
cupid, kenapa kamu melakukan tugasmu dengan ceroboh?!
Aku memeluk kedua lututku. Lalu menangis dengan keras, walau
tertahan. Dadaku terasa sangat sesak.
Kenyataannya,
mencintaimu adalah salah satu caraku menyakiti diriku sendiri.
*
“Boleh,
aku ngomong sesuatu?” tanyaku, gugup.
Kamu
menatapku, lalu tersenyum dengan ramah, seperti biasanya. Kamu terkekeh kecil,
“Ngomong aja, kali, Tia. Biasanya aja langsung nyerobot.”
Aku
tersenyum kikuk. Tangan kananku menjalar, meremas tengkukku sendiri dengan
gusar. Aku memutar bola mata, berusaha menatap sesuatu yang lain. Yang bukan
kamu.
“Ng..ng...,
aku...sebenernya..., suka sama...kamu....” aku menyelesaikan kalimat keparat
itu seraya menatapmu, yang menatapku dengan mata berpijar kaget. Hei,
apa aku salah?
Cukup
lama hening terjadi di antara kita berdua. Aku sibuk menetralkan degup
jantungku yang bekerja gila-gilaan. Sedangkan aku merasakan kegusaran yang
menerjang tanpa henti. Bahkan aku merasakan keringat dingin menjalar, membasahi
seluruh tubuhku.
Kamu
mengarahkan tatapan seluruhnya, kepadaku, “Terimakasih...,” ujarmu lirih
lengkap dengan senyum yang terasa hambar.
Aku
mengernyitkan dahiku. Apa ini pertanda sesuatu yang buruk?
“Tapi...,”
katamu mengambang membuatku nyaris hilang keseimbangan. Apa aku
salah menyukaimu?
“Aku..., sudah...,
punya Lisa, Tia. Maaf...,” pungkasmu sambil menatapku khawatir.
Detik
itu juga, aku merasakan tanah tempatku berpijak runtuh. Aku merasa seluruh
tubuhku lemas dan sepertinya aku akan limbung. Mataku memanas. Sementara itu,
aku merasakan gelenyar aneh yang menusuk hatiku, perlahan dan perih menjalar ke
seluruh tubuhku.
“Tidak...,”
kataku lirih sambil berusaha memaksakan senyum yang sangat sulit terbentuk. Aku
nyaris saja menangis, tapi buru-buru kuseka sudut mataku. Bagaimanapun, aku
seharusnya berbahagia, kamu yang kucintai, sudah memiliki pengisi hati.
“Kalian...,
cocok. Bahagia..., ya?” seruku serak. Tuhan..., aku bisa saja mati sekarang
juga.
Kamu
menatapku semakin khawatir. Tapi aku tidak apa-apa. Ya, aku tidak apa-apa,
setidaknya, untukmu.
“Maaf,”
serumu padaku. Aku menggeleng, tidak apa-apa.
“Aku
baik-baik saja,” sahutku sambil mengucapkan kalimat biadab itu dengan susah
payah.
*
#Gusar—Joan,
apa aku salah?
Aku baru saja bangun tidur saat
mendengar sayup pintu diketuk. Suara itu terdengar jauh. Aku menyisir riak
rambutku dengan jemari, lalu meloncat dari atas tempat tidur. Aku menyeka
wajahku dengan seadanya.
Ketukan di pintu yang tadi
terdengar samar-samar, sekarang terdengar lebih kuat dan jelas. Sambil
mengerang, aku buru-buru keluar, meneliti siapa yang datang dengan jam yang
masih sepagi ini.
Aku melirik sekilas ke arah jam
dinding, berusaha membenarkan pembelaanku. Tapi ternyata jam dinding sama
sekali tidak mendukungku. Sudah pukul sepuluh, ternyata. Sebentar lagi siang.
Gosh,
siapa
yang peduli, kan?
Lagipula, ini Hari Minggu.
Jadi, tidak apa-apa, kan, aku menyebut jam sepuluh itu masih sangat pagi?
Lagipula, matahari keluar dalam kamusku, adalah pukul dua belas. Tengah hari.
Sambil menggeram, aku segera
merayap ke arah pintu rumah. Menekan daun pintu sehingga pintu itu terkuak. Muncullah
sebuah kepala dengan bibir dicebikkan. Begitu melihat siapa yang datang
bertamu, aku hanya menyeringai bodoh.
“Aku udah nunggu sampai lumutan,
tahu!” protes Lisa.
Aku meringis. Lisa berpakaian rapi
dan seperti biasanya, selalu terlihat cantik. Demi melihat penampakanku yang
baru saja bangun tidur, Lisa mencebikkan bibirnya, mencibir.
Aku terkekeh, lalu mengucapkan sori, tanpa suara. Setelah kupersilakan
masuk, Lisa dengan semangat langsung meluncur menuju dapur. Aku tidak tahu apa
yang akan dilakukan perempuan itu. Aku membiarkannya saja.
Bukannya aku tidak peduli atau
apa. Selain dia memang milikku, maksudku, pacarku, Lisa memang sudah biasa
dengan seenak jidatnya mengobrak-abrik rumah orang lain.
Jelas, aku membiarkan hobinya
berkembang pesat. Lisa kurang bisa dikritik.
Lisa kembali dengan
piring-piring kecil. Diletakannya di atas meja, di depanku. Sementara aku
memperhatikan pekerjaannya sambil mengangkat alis tinggi, Lisa kembali bekerja.
Dia mengeluarkan aneka macam barang—yang aku tidak tahu namanya—dari dalam
tasnya. Dia lalu menyusunnya. Dengan rapi.
“Selamat ulang tahun, Joan!”
serunya riang seraya menyalakan lilin. Dia menebarkan confetti, di dalam rumahku.
Dengan senyumnya yang hangat,
dia menyodorkan kue ulang tahun kepadaku, dengan lilin menyala terang. Aku membalas
senyumnya dengan hambar. Memejamkan mata, aku melafalkan harapan lalu meniup
lilin hingga padam.
Bayangan kejadian setahun lalu,
tiba-tiba menusukku. Menyisakan rasa perih yang begitu terasa.
*
“Aku
baik-baik saja,” ucapmu terdengar lirih dan samar di telingaku. Suaramu campuran
antara serak dan parau. Dan ini karenaku.
Aku
masih menatapmu bingung harus apa. Sebagai laki-laki, aku benci membuat
perempuan menangis karenaku. Tapi ini kamu. Aku tidak tahu bagaimana caranya
menghapus air mata itu.
Kenyataannya,
aku memang ingin menghapus dengan jemariku. Tapi bahasa tubuhmu dengan jelas
tidak memperbolehkanku melakukannya.
“Aku...,”
ucapku serak. Aku juga bingung harus bilang apa. Bagaimanapun, kamu adalah
teman yang baik. Kita sudah berteman lama. Dan melihatmu menangis, di
hadapanku, karenaku, itu juga membuatku sakit.
Kamu
menatapku. Menanti kalimatku yang menggantung. Demi melihat mata yang menyimpan
air mata di sudutnya, aku menelan ludah dengan susah payah, “...maaf,” lanjutku
lirih.
Aku
tahu senyum itu. Senyum getir yang selalu kau tunjukkan saat kamu tidak bisa
mengungkapkan kata-kata sebagai jawaban. Aku mengenalmu. Dan aku cukup tahu
bahwa senyum getir itu adalah pengganti jawabanmu, yang tidak bisa kau ucapkan.
“Tiara...,”
panggilku gusar.
Bagaimanapun,
aku tidak rela melihatmu menangis. Apalagi karena kalimat keparatku.
Kamu
menggeleng-gelengkan kepala, menatapku dengan sendu, “Aku baik-baik, Jo. Percayalah.”
Aku
tidak bisa percaya. Keadaanmu bahkan tidak lebih baik. Semakin memburuk. Dan itu
karenaku.
“Kamu
tidak percaya?” katamu lalu tertawa kikuk, “Akan kupastikan. Aku selalu dan
terus baik saja.”
“Tia...,”
sahutku lagi. Apa yang sudah kulakukan kepadamu?
Kamu
tersenyum kecil, lalu senyum itu lenyap. “Kalau aku bisa mencintaimu sampai aku
mati tanpa harus berurusan dengan keinginan untuk memilikimu, itulah yang akan
selalu aku lakukan,” ujarmu sambil menarik kedua sudut bibirmu. Membentuk senyuman,
yang terasa perih di dadaku.
Aku
terkesiap. Tidak. Kamu tidak boleh melakukannya. Aku tidak ingin melihatmu
sakit. Lebih dari ini, “Jangan,” sergahku cepat, “kumohon jangan.”
Kamu
tersenyum tipis dan menyentuh lenganku, ragu, “Tidak apa-apa. Lagipula, aku
tidak akan merebutmu dari Lisa, kok.”
Aku
menggeleng. “Kumohon...,” seruku serak.
Kamu
tersenyum lagi. Lalu mengambil sekotak kardus kecil dari tasmu. Coraknya garis
horizontal berwarna merah. Lagi-lagi, kamu tersenyum. Apa kamu
tahu, aku semakin sakit melihatnya? “Selamat
ulang tahun, Joan,” serumu seraya mengangsurkan kotak itu kepadaku.
Aku
menerimanya. Lantas mengucapkan terimakasih dengan lirih. Kotak itu menguarkan aroma
melati samar. Bau parfum yang sama denganmu.
“Tenang
saja,” ucapmu membuatku menatapmu lagi, “hanya aku yang mencintaimu. Kamu tidak
perlu khawatir. Kamu tidak akan mencintaiku.” Kamu menatapku lembut. Dan aku
semakin gusar karenanya.
Kumohon,
hentikan. Aku tahu itu menyakitkan buatmu.
“Aku
akan baik-baik saja,” lanjutmu sambil mengangguk. Mengamini ucapanmu sendiri, “setidaknya,
aku, kamu, dan Lisa, akan baik-baik saja. Seperti biasanya.”
Aku
tidak ingat apa yang kaucapkan setelah itu. Atau itu memang ucapanmu sebelum
akhirnya kamu melangkah menjauh? Aku hanya bisa menatap punggungmu yang semakin
mengecil.
Kamu
mungkin tidak tahu. Tapi aku melihat secara jelas. Bahumu bergetar samar, lalu
semakin kuat. Aku tahu kamu menangis. Bukan kamu saja yang sakit. Aku juga
sakit. Melihatmu menangis, menanggung luka.
Tapi...apa
aku memang sepenuhnya salah atas ini?
“Aku akan baik-baik saja. Setidaknya,
aku, kamu, dan Lisa, akan baik-baik saja. Seperti biasanya.”
Kamu
benar. Kita semua, pasti akan selalu baik-baik saja.
---
0 komentar:
Posting Komentar