Dalam jarak yang terekam, romansa adalah cerita para pengembara.
Cerita yang dituturkan hanyalah bualan belaka, pengantar tidur yang
membosankan. Tidak perlu dipercaya, toh rasanya tetap sama. Hampa.
Tapi, nyatanya ada ribuan kisah
yang tidak tertuturkan. Ada yang tidak tersampaikan. Begitu pula denganku, yang
hanya diam dengan bibir terkatup, menutup semua pintu.
Rasa sesak dari sebuah cerita
cinta adalah candu. Sedangkan rasa bahagia adalah bonus. Tidak ada yang khusus
dari sebuah cerita cinta. Terlebih, cerita cinta milikku. Toh ceritaku hanya
berisi tentangku, kau, dan jarak yang tak kunjung memupus. Pun dengan ujung
yang tak kunjung memadu.
Jika kau bertanya, apa yang
paling menyakitkan dalam sebuah kisah percintaan, jawabannya bukan kisah cinta
tanpa hubungan pasti. Bukan juga kisah cinta yang digantung tanpa menyisakan
alasan. Bukan pula tentang kisah cinta yang patah berkali-kali.
Aku merasakan yang lebih hebat
dari itu.
Kau bilang, aku adalah entitas
untukmu. Dan aku bilang, atensiku adalah dirimu.
Tapi bagaimana pun, cinta tidak
semudah itu. Tidak pernah sesederhana itu.
Nyatanya, kau memintaku maju,
berjalan beriringan, sembari membagi kisah. Tapi aku menolak untuk mengambil
langkah. Aku hanya diam, memaku diri tanpa bergerak barang satu langkah.
Yang kau tanya, adalah kenapa.
Pertanyaan memuakkan yang terus kauulangi untukku.
Aku bahkan tidak ingat menjawab
apa kala itu. Yang kuingat, aku hanya tidak mau membagi luka. Tidak mau kembali
menumpuk luka. Nyatanya, luka itu seperti candu. Yang bila tidak kurasakan,
rasanya aku hanya bisa mengangkat sebelah alisku tinggi. Yang bila tidak
berdenyut menyakitkan, rasanya aku hanya bisa mengerjap heran. Yang bila tidak
menyerangku sampai lupa menyesap senang, aku hanya bisa berdecak takjub.
Tapi luka adalah luka. Nyatanya,
dia berhasil mematikan syarafku. Berhasil menghentikanku sejenak saat mengambil
napas, sembari menggumam dengan lamat, ‘kau
apa kabar?’. Nyatanya, dia pun bisa membuatku mendadak bisu, saat melihatmu
melintas dalam jarak. Membagi senyum dengan sosok asing dalam genggamanmu.
Dan luka adalah luka. Yang mampu
menyerangku tiba-tiba, saat kau menerobos masuk melalui iris mata.
Saat aku menyadari, aku sudah
kosong. Tidak lagi mampu menyesap rasa cinta. Aku tidak menyesal. Tidak pula merasa
dendam.
Hanya saja, walau sudah terbiasa
dengan lara, kenapa hanya mendengar namamu terucapkan, kenapa geletar
menyakitkan menusuk bagian diriku? Kenapa pula rasanya ngilu?
Pahamku, cinta adalah wujud nyata
dari lara.
(Saya tidak suka hal yang berbau romansa, percintaan, atau apalah namanya itu. Saya jauh dari hal itu. Tapi, ini pengalaman saya. Dan bagi saya, sampai sekarang, rasanya tetap ambigu.)
Saya jadi ingat pertanyaan Tauriel kepada Thranduil saat Kili mati di pangkuannya, pada adegan film The Hobbits terakhir,
BalasHapus"Mengapa ini menyakitkan?"
"Karena ini adalah kenyataan."
Hm, ya. Seringnya sih begitu, kak. Kenyataan memang lebih sering menyakitkan dari pada membahagiakan:'D
Hapus