[sumber
gambar: nyolong dari punya temans :D]
Merindu
itu menyakitkan. Menunggu itu lebih dari sekadar menyakitkan.
***
Sejak aku bertemu denganmu, tidak pernah
sekalipun aku ingin merindumu. Semenjak kulitmu menyentuh telapak tanganku, tak
pernah sekalipun terbesit dalam pikiranku untuk selalu menyambangimu di alam
mimpi.
Tapi semua berlalu begitu cepat.
Terlalu cepat sampai aku tidak
menyadarinya. Kamu seolah sudah mengatur waktu, memutar pergerakan jam dengan
secepat kilat, dan mencecap menit dengan seluruh tenagamu.
Kamu seolah bisa membaca masa depan. Aku
bahkan tidak menyadari kamu mengganti angka di kalenderku hingga sekarang sudah
tahun kedua berlalu.
Aku tidak bisa membaca gerak-gerikmu. Itu
terlalu memusingkan.
Hingga hari ini, di atas hentakan jarum jam
yang bergerak menyakitkan, aku akhirnya menyadari satu hal. Kamu sudah
menaburkan bubuk rindu di atas jejakanku. Kamu sudah menjejalkan candu kasih di
setiap oksigen yang kuhirup.
Aku tidak tahu kenapa kamu melakukannya.
Yang jelas, setiap usaha yang sudah kamu lakukan itu sudah berhasil. Berhasil
membuatku goyah dan sempat kehilangan arah, dan berhasil membuatku tercengkeram
rindu yang berkelebat di sekelilingku.
Kini aku selalu merasakan sakit menyobek
paru-paruku saat aku menghirup oksigen. Oksigen yang sudah kamu jejalkan candu
kasih di sana. Aku juga selalu merasakan panas membara di telapak kakiku setiap
kali aku melangkah. Aku sudah menginjak butiran rindu yang kau tabur.
Ya, kamu berhasil membuatku merindukanmu.
Dan merindukanmu adalah salah satu hal yang
sangat menyakitkan bagiku.
***
Kota Jakarta bermandikan air hujan. Rinai
hujan yang sudah turun sejak malam tadi belum juga menguap. Masih setia
menjatuhkan dirinya di atas genteng yang memberikan suara gemeresak bak pelengkap
dinginnya pagi itu.
Awan di atas sana masih mengulum marah dan
berwarna kelabu. Matahari mulai kewalahan berpendar. Sinarnya yang berusaha
menerobos gumpalan awan itu hanya memberi secercah kehangatan yang samar.
Aku tidak pernah memiliki masalah dengan
hujan. Tidak sama sekali. Tapi adanya hujan di saat rindu itu sangat tidak
keren.
Bunyi berkelontang di atap masih kentara di
telingaku. Aku melangkah tersaruk ke luar rumah. Bau khas tanah basah langsung
merayap menusuk hidungku saat aku berhasil memunculkan diri dari balik pintu
yang kubuka lebar-lebar.
Aku mengedarkan pandangan. Menatap setiap
jengkal halaman rumah yang basah karena hujan. Aku menghembuskan napas dan
memejamkan mata.
Di saat merindukan seseorang seperti
inilah, aku merasakan sakit saat menusuk jantungku. Nyaris membuatnya pecah.
Tidak hanya itu. Aku selalu merasakan atmosfer di sekitarku menjadi tidak lagi
damai dan begitu menyesakkan.
Sangat menyakitkan.
Begitu kusadari, aku sudah menjatuhkan
buliran air mata dari peraduannya. Tidak, aku tidak menangisi sosokmu. Aku
hanya kecewa padamu. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa kamu membuatku
merindukanmu lalu kemudian kamu mengambil langkah seribu setelah kamu berhasil?
Tangan kiriku yang bebas mencengkeram
dadaku. Sakit, kecewa, marah, dan benci menyatu padu menjadi satu.
Rindu
ini akan membunuhku secara perlahan.
***
Tidak
ada orang yang tahu apa yang akan terjadi setelah membuka pintu atau menutup
pintu.
Tidak
juga aku.
Dan
tidak pula kamu.
Dulu aku yang selalu menutup pintu
rapat-rapat ternyata kecolongan. Kamu bisa membuka pintu itu, yang entah
kuncinya bisa kaudapat dari mana.
Kini pintuku terbuka lebar, terlalu lebar
sampai aku harus merasakan sakit entah untuk keberapa kalinya.
Aku tidak memaksamu untuk menutup pintuku
kembali. Aku hanya tidak tahu kenapa aku tidak bisa menutup pintuku sendiri.
Aku tidak memahami diriku sendiri yang mengapa membiarkan pintu itu terbuka
lebar untukmu.
Rasanya menyakitkan. Sekaligus menyesakkan.
Tapi yang aku heran, kenapa aku mau
merasakannya hanya untuk sosok sepertimu?
Aku meringis. Tentu saja aku mau. Kamu
seperti malaikat. Datang dan memberikan secercah kehangatan lewat senyumanmu.
Kamu berpendar cerah, membuatku melupakan dukaku.
Dan kamu, pada akhirnyapun menghilang. Kamu
terlalu pintar sampai aku tidak bisa mengendus jejakmu. Hanya sekadar memintamu
bertanggung jawab atas rindu yang sudah berhasil kamu tumbuhkan di dasar hatiku
yang beku.
Rindu itu semakin membuncah dari waktu ke
waktu. Kadang aku takut aku akan kehilangan jiwaku, hanya karena aku begitu
mengharapkanmu datang melewati pintuku yang terbuka lebar. Tapi memang hanya
kamu obat atas segenap rindu ini.
Bukan yang lain. Hanya kamu.
Aku tidak pernah tahu apa yang akan aku
rasakan lagi ketika aku menyadari pintuku hanya untuk dirimu. Aku tidak tahu
apa yang akan terjadi jika aku tidak benar-benar bisa melupakanmu dan
membiarkan pintu itu diisi oleh orang yang lebih berhak.
Tapi bagiku itu memang hanya kamu. Bukan
orang lain.
Aku memeluk lututku. Mencengkeram erat dan
membenamkan wajahku di sana. Aku terisak kuat. Terlalu kuat sampai aku
merasakan ada yang mau meledak dari dalam tubuhku. Entah itu hatiku atau
jantungku.
Isakanku semakin menjadi begitu aku
menyadari ini tahun kedua aku menunggumu dan kau tak kunjung hadir dalam
pandanganku.
Tidak ada dirimu yang berdiri di ambang
pintuku.
Tidak ada dirimu yang mencabut panas
membara rindu yang membakar jiwaku perlahan.
Tidak ada dirimu yang mengobatiku dari
rindu menahun ini.
Yang ada hanya aku, rindu, dan hentakan
waktu yang terus merobek nadiku.
Kenyataannya,
merindukanmu adalah caraku menyakiti diriku sendiri.
Dan
menunggumu yang entah akan kembali atau tidak, itu hal yang sangat menyiksa
batinku. []
0 komentar:
Posting Komentar