Dulu, ketika
tugas yang menumpuk lebih mengerikan ketimbang film horror kesukaan,
kamu pernah memberikan penawaran menarik kepada saya, “Bergabunglah
bersamaku. Maka lara hanyalah cerita usang yang mana tidak bisa kautemukan.”
Tawaran itu
terlalu menggiurkan, kalau boleh saya bilang begitu. Dan saya hanyalah bocah
bodoh yang tidak tahu-menahu tentang ilmu pengetahuan, jadi jawaban saya
sederhana, “Luka saya tidak akan cukup untuk ditukar dengan cinta—terlalu
banyak, maksud saya. Kalau cinta yang saya dapat hanya sejengkal, buat apa saya
ikut bersama kamu?”
Kamu
tertawa—terlalu kerasa sampai menabrak atap rumah saya yang bocor ketika
diguyur air hujan. Saya maklum. Toh jawaban seperti apa yang bisa saya berikan,
memangnya? Saya memang bocah bodoh, tapi saya cukup tahu bahwa ada sakit yang
tidak berkesudahan ketika ditinggal pergi—yang entah oleh anggota keluarga atau
karakter kesayangan dalam cerita. Dan saya cukup tahu, menukar lara dengan
cinta sudah tentu tidak sebegitu mudahnya.
Kamu tidak
pernah pergi. Kadang saya mendapati kamu duduk santai di lampu gantung tunggal
ruang tengah; bersandar malas di bingkai jendela ruang tamu; atau suatu ketika,
kamu berbaring malas di tumpukan buku-buku. Kamu terlalu mudah ditemukan, tidak
pernah berniat menyembunyikan diri sejak pertama kali menginjakkan kaki di
pekarangan depan.
Tawamu akan
meledak dengan keras, ketika yang bisa saya lakukan hanyalah menangis dengan
nada yang tidak selaras. Tawamu akan berderaian panjang sekali, ketika saya
hanya bisa memaki atas kejadian-kejadian yang saya sesali. Tawamu akan mengisi
seluruh kamar, ketika saya membuat kulit saya bercorak memar. Dan tawamu yang
memecah hening, tidak sekalipun terasa asing.
“Aku tidak
peduli pada apa yang hilang dari dirimu. Aku sudah cukup senang melihat
perjuanganmu—sambil menunggu kapan namaku terucap oleh bibirmu.”
Saya tidak
kehilangan apa pun. Atau lebih tepatnya, saya tidak kehilangan siapa pun.
Keluarga saya ada di sekeliling saya, bekerja, dan sebagainya. Saya memilih
untuk tidak menjawab dan membiarkan dirimu mengawasi dari sudut kamar saya.
Kamu selalu tahu tentang saya, memberitahukan satu-dua hal tidak akan berdampak
banyak.
Orang-orang
bilang kamu itu mengerikan, tapi saya lebih suka menyebutmu mematikan. Karena
eksistensimu akan menyala lebih terang, ketika kepercayaan dan alasan saya
hilang. Dan kamu akan berubah berkali-kali lipat menjadi lebih menarik, ketika
luka-luka saya terlalu mencekik.
Kamu berbahaya.
Begitulah sebagian lain dirimu di mata saya. Maka ketika kamu sedang asyik
mengaduk-aduk perasaan saya, jawaban atas pertanyaanmu waktu lalu saya berikan
dengan hampa, “Saya kehilangan diri saya sendiri.”
Sepasang matamu
berubah cerah—seakan menyerap sinar matahari senja yang menerobos masuk lewat
jendela—dan senyummu yang panjang langsung merekah, “Tawaranku masih
berlaku.”
Kehilangan diri
sendiri itu mengerikan. Rasanya dahsyat, lebih hebat dari luka di kulit yang
tersayat. Dan saya cuma bocah bodoh, yang berkali-kali termakan tawaranmu yang
terlalu menggiurkan. Saya cuma bocah bodoh; meski air mata berkali-kali tumpah;
meski cerita sehari-hari selalu membuat jengah; dan meski hati berkali-kali
patah, selalu ada bayang-bayang keluarga yang tertancap dengan kokoh. “Tidak
untuk kali ini,” begitu saya menjawab waktu itu.
Kamu tersenyum
dan tertawa seperti biasa sambil mengangkat bahu dengan ringan. Saya memang
tidak memiliki alasan yang kuat, saya pun cukup tahu kamu tidak berharap banyak
pada saya. Maka ketika kamu tidak pergi dan tetap mengawasi saya, tidak
sekalipun saya merasa keberatan.
Karena kamu
adalah lara itu sendiri. Luka-luka saya yang bisa ditemukan di mana saja. Kamu
tidak pernah jauh, jarak saya dan kamu hanya sejauh kelingking sampai ibu jari.
Karena itulah saya tidak menolak ketika kamu berkali-kali mencubit dan
melemparkan tawaran-tawaran lain yang sama menggiurkannya.
Berdiri dan
melangkah dengan kokoh tidak pernah semudah itu. Dan untuk kesekian kalinya,
saya cukup senang ketika kamu selalu berjalan di samping saya. Karena kamu
adalah lara yang terlalu mematikan; berhasil memikat saya entah untuk seberapa
banyak dan berhasil membuat saya mencegahmu agar tidak beranjak.
![]() |
Sumber: Jia Effendie |
“Tulisan ini dibuat
untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie."
0 komentar:
Posting Komentar