![]() |
Lupa ambil di mana._.v Tapi keren banget:3 |
Aku mencium berbagai
macam bau. Anyir, amis, dan bau menjijikkan lainnya yang menyaru dalam organ
penciumanku. Sementara itu, aku mendapati sesosok tubuh yang bersimpuh kaku
dalam kubangan cairan sewarna merah kental. Aku berdecak, menatapmu yang tidak
lagi bergerak, kemudian mendengus.
Ruang ini terlalu gelap dan
kelam. Diam-diam, aku merasakan gejolak menyakitkan dari dasar hatiku. Tetapi
aku diam saja.
Lamat-lamat, ruang itu kembali
terang. Satu-satunya jendela di ruang itu membuat mataku tergiring dan jatuh
menatapnya untuk beberapa waktu. Pelan-pelan, aku mengambil napas dan
menyatukan kelopak mataku.
Sudah tidak lagi gelap, Rhe. Dan sebentar lagi, waktunya.
Aku tersenyum tipis, sedikit
merasa lebih lega.
Kalau sudah begini, kita akan selalu bersama, Rhe.
*
Aku dan kamu sering melakukan
berbagai hal bersama. Kamu sangat menyenangkan. Kali ini, aku dan kamu bermain
di sepetak tanah kecil di halaman belakang rumahku. Dulu, satu rumah yang hanya
memiliki satu ruang dan satu jendela berdiri kokoh di atas tanah itu. Rumah itu
akhirnya diratakan dengan tanah oleh pemiliknya, yang diduga seorang pria tua
kesepian. Dan sekarang, semua itu tinggal sepetak tanah kecil, tanpa ada apapun
di atasnya.
Kamu menggelar tikar di atas
tanah. Seperti biasa, kamu membawa setumpuk komik serial detektif dan beberapa
potong roti buatan ibumu. Aku selalu suka menikmatinya denganmu.
Tapi beberapa detik kemudian,
aku merasa ada sesuatu di sekitar kami. Adrenalinku langsung terpacu. “Ada yang
datang,” kataku seraya menatapmu yang tengah mengunyah roti.
Mendengar hal itu langsung
membuatmu spontan menatap sekitar dengan linglung.
“Siapa?”
Aku hanya menggeleng dan bilang
tidak tahu padamu. Aku benar-benar tidak tahu, tetapi aku yakin memang ada yang
datang. Telingaku bisa menangkap jelas bunyi derap kaki tegas dan suara berat
seseorang yang menyerukan namaku. Kamu kembali bertanya, dan jawabanku sama,
aku yakin ada yang datang.
Kembali aku memasang telinga,
berjaga dengan waspada, “Jangan berisik.” aku menggumam sembari meletakkan
telunjuk di bibir, memberi isyarat agar kamu diam.
“Memangnya siapa
yang datang?” tanyamu lagi. Kali ini dengan suara rendah, nyaris berbisik.
“Seseorang,”
jawabku menjeda. “Dia mencariku dan...kamu.”
Aku merasa
seseorang itu semakin dekat. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi aku
berusaha menelisik sekitar dengan waspada. Dan aku semakin merasa orang itu semakin dekat
saja. “Dia mendekat, Rhe.”
Aku mulai merasa
takut dan aku juga tahu kamu merasakan hal yang sama. Aku ingin melindungimu,
sungguh, tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana. Yang aku sadari, kamu
mencekal lenganku erat-erat, benar-benar ketakutan.
Tapi detik
selanjutnya aku tidak bisa merasakan tubuhku sendiri. Aku merasa sangat ringan
dan angin serasa seperti menusukku tanpa henti. Rasanya menyakitkan.
Saat itulah, aku
melihatmu menatapku dalam dan berteriak, “Drew!” dengan kalut.
Aku tidak bisa
apa-apa. Aku tidak tahu harus bagaimana.
Jadi, aku hanya
diam dengan mulut terkatup. Balas memperhatikanmu dan berusaha untuk tidak melupakan
hasil pahatan memesona wajahmu.
Aku merasa
semakin hilang, tetapi samar-samar aku masih melihatmu. Melihatmu berdiri
dengan tangis pecah.
Aku merasa sakit
luar biasa. Sebelum bayangmu benar-benar hilang dari pandanganku, aku
menggumam, kita akan bertemu lagi.
*
Aku menatap
ruang kosong di sekitarku dengan linglung. Ruang itu gelap, pengap, dan dingin. Maksudku, benar-benar dingin. Kugulirkan mata, menatap
sekeliling dengan lebih teliti. Hanya ada satu jendela yang tidak bisa
diharapkan. Benar-benar tidak bisa diharapkan karena tidak ada cahaya yang
menyeruak masuk dari jendela, setidaknya memberi penerangan di ruang gelap ini.
Tidak ada
siapa-siapa. Ruang itu kosong. Hanya aku. Hanya ada aku yang berdiri di ruang
itu, kebingungan.
Ketika aku
tengah meneliti ruang itu dengan seksama, suara derap langkah kaki yang bertalu
dengan lantai membuatku sontak menoleh dengan waspada. Dari kegelapan,
lamat-lamat, sesosok orang tinggi menyeruak keluar.
Setelannya
hitam—jubah yang menutup tubuhnya, tubuhnya benar-benar tinggi dan tegap. Dengan
langkahnya yang tegas, dia datang ke arahku dan aku sibuk mengontrol emosiku
yang entah kenapa tiba-tiba meluap.
“Halo, anak
muda,” sapanya dengan suara yang berat dan rendah.
Aku tidak
menjawab. Lebih karena penasaran dengan apa yang dilakukan orang itu di ruang
gelap ini. Otakku tidak bisa bekerja banyak, jadi kusimpulkan sendiri, bahwa
orang itu yang membawaku ke sini. Itu masuk akal karena pakaiannya tidak wajar
dan sosoknya yang tergambar mengerikan.
“Ya, aku yang
membawamu, Nak.” Dia berseru seolah tahu apa yang aku pikirkan. Atau mungkin,
wajahku dengan mudah terbaca.
Aku tetap
bergeming. Tidak mundur, tidak juga gemetaran. Aku hanya diam mematung dan
sibuk berpikir. Ruang ini hanya gelap; itu saja. Yah, setidaknya memang masih
ada sensasi yang lain, yang pasti sudah kuberitahu. Aku hanya ingin tahu
bagaimana keadaan kamu di luar. Dan aku ingin keluar dari sini. Secepatnya.
“Rhe akan
baik-baik saja, Nak,” katanya lagi.
“Bagaimana aku
bisa tahu? Bagaimana kalau kamu malah mengurungku—“
“Santai, Nak.”
Orang itu tertawa keras-keras. “Dia akan baik-baik
saja. Asalkan...”
Aku bukan
seorang penakut. Dalam hidupku, aku tidak pernah takut pada apapun. Tapi, aku
takut. Aku benar-benar takut jika ada sesuatu hal yang bisa membuat kamu
terluka. Kamu sudah seperti jantungku, darahku, dan semuanya yang membuatku
hidup.
“Asalkan apa?”
sergahku tidak sabar.
Dia hanya
tertawa lagi. Lebih nyaring. “Ini tempat harapan, anak muda. Ruang dengan satu
jendela. Kau pasti tahu ini di mana.”
Ruang dengan
satu jendela. Ruang kecil yang gelap dan sempit. Aku menggulirkan mata, menatap
ke sisi jendela. Seorang yang berdiri di hadapanku. Laki-laki tua.
Ha! Ini pasti
rumah di petak kecil belakang rumahku. Tapi, bukankah semuanya sudah tidak lagi
ada, sekarang?
“Tidak ada yang
benar-benar hilang, Nak.”
Aku
memperhatikan sosoknya yang tinggi menjulang. Dia mengarahkan tangan ke atas,
memercikkan serupa kembang api, dan samar-samar kegelapan mulai tergerus.
Berganti cahaya sewarna keperakan.
“Tapi—“
“Ini adalah
ruang untuk harapan,” katanya. “Kau akan di sini, sementara kau terus berharap.
Dia akan datang.”
Aku memelototkan
mata. Aku benci menunggu. Benci berharap. Benci ruang ini. Aku ingin keluar.
“Demi apapun, aku ingin keluar.”
Orang itu kembali
tertawa. Dia menggerakkan tangan kembali dan percikap serupa kembang api
kembali terlihat. “Kau akan di sini, karena telah menggantikanku.”
“Tunggu!”
cegahku sebelum kegelapan menyelimuti keseluruhan ruang. “Aku ada di—“
“Sampai jumpa,
Nak.”
Ruang itu
menggelap—benar-benar gelap dan menyisakan dingin yang menusuk-nusuk tubuhku.
Aku mulai menggigil dan gemetaran.
Aku..harus bagaimana?
*
Aku menatap kamu
yang masih bergerumul dengan cairan merah kental yang amis itu. Sembari
menghela napas kuat-kuat, aku mengarahkan tangan ke atas. Berikut kembang api
terdengar melecut samar dan cahaya sewarna hitam-keperakan menyeruak,
menyelimuti ruang itu.
Kutatap sosokmu
yang tanpa senyum dengan kelopak mata menyatu.
Kita akan selalu bersama, Rhe. Bukankah
aku pernah mengatakannya?
Kelopak mataku
menyatu dan sebuah lecutan keras kembali terdengar, menggaung di seluruh ruang.
Ketika aku
membuka kelopak mataku, ada dua kursi yang saling berhadapan. Di salah satunya,
kamu duduk di sana, memamerkan senyum menggantung di bibirmu. Kamu menatapku
penuh, meskipun aku tahu sebenarnya kamu bingung.
Jadi aku tertawa
dan duduk di salah satu kursi yang tersisa. “Hai,” kataku memulai.
Kamu tersenyum
lebar. “Halo.”
Kamu
memperhatikan sekitar, jadi aku ikut memperhatikan. Ruang itu masih
sama—setidaknya, masih sempit dengan satu jendela. Tapi, ruang itu tidak lagi
gelap. Cahaya sewarna hitam-keperakan menyorot dari kisi-kisi jendela,
menerangi ruangan. Suasananya tidak lagi dingin, tetapi kehangatan samar.
“Jadi, kita
dimana?”
“Bukannya itu
tidak penting?” kataku. Melihat kamu yang cemberut aku tertawa keras.
“Yang
terpenting, adalah, kita berdua. Ya, kan?”
Kamu mengangguk.
“Kita selalu bersama, kan?”
“Ya,” kataku
sambil mengangguk. “Kita selalu bersama, Rhe. Selalu.”
Kamu tertawa.
“Aku percaya.”
Ya, karena hanya aku, hanya aku yang
mencintaimu dengan sangat. []
![]() | |
Pict dua kursi di ruangan itu:3 |
0 komentar:
Posting Komentar