Karena hidup itu seperti jendela. Yang memiliki cerita berbeda, di setiap sisinya.

Minggu, 22 Juni 2014

Semuanya Baik-baik Saja

(gambar aseli di sini Selebihnya editan pribadi :P)
*

#Sepi—Tiara, bersama rasa yang menyakitkan.

Aku tidak pernah berusaha mencintai bayangmu. Yang kuusahakan selama ini, adalah mencintai dirimu. Sepenuhnya.

Tetapi, sebelumnya aku tidak pernah menyadari, bahwa mencintaimu ternyata menyesakkan. Aku mencintaimu dan aku ingin memilikimu. Tapi nyatanya, kamu sudah berpunya. Itu menyakitkan.

Tapi lebih menyakitkan, saat aku terus mencintaimu, tanpa bisa memilikimu.

Kalau dulu ada orang yang berujar kepadaku, bahwa ada orang yang terus bertahan mencinta walau tak bisa memiliki, aku akan menyebut orang itu bodoh. Tapi fakta yang sekarang terjadi, adalah, aku berada di posisi yang sama.

Tidak sekalipun dalam hidupku terpikir untuk mencintaimu.

Selama ini.

Terus bertahan.


Walau kenyatannya, kamu sudah berpunya.

Dan tidak mencintaiku barang sedikit.

Aku ingin berlari dari kenyataan. Aku ingin bebas dari rasa sakit ini. Aku ingin tidak mencintaimu. Tapi aku tahu, aku tidak akan sanggup melakukannya. Walau barang sedikit saja yang kuusahakan. Tapi aku juga tidak bisa bertahan. Aku rapuh, asal kamu tahu.

Aku harus apa? Kenapa mencintaimu justru membuatku sakit?

Dear stupid cupid, kenapa kamu melakukan tugasmu dengan ceroboh?!

Aku memeluk kedua lututku. Lalu menangis dengan keras, walau tertahan. Dadaku terasa sangat sesak.

Kenyataannya, mencintaimu adalah salah satu caraku menyakiti diriku sendiri.

*

“Boleh, aku ngomong sesuatu?” tanyaku, gugup.

Kamu menatapku, lalu tersenyum dengan ramah, seperti biasanya. Kamu terkekeh kecil, “Ngomong aja, kali, Tia. Biasanya aja langsung nyerobot.”

Aku tersenyum kikuk. Tangan kananku menjalar, meremas tengkukku sendiri dengan gusar. Aku memutar bola mata, berusaha menatap sesuatu yang lain. Yang bukan kamu.

“Ng..ng..., aku...sebenernya..., suka sama...kamu....” aku menyelesaikan kalimat keparat itu seraya menatapmu, yang menatapku dengan mata berpijar kaget. Hei, apa aku salah?

Cukup lama hening terjadi di antara kita berdua. Aku sibuk menetralkan degup jantungku yang bekerja gila-gilaan. Sedangkan aku merasakan kegusaran yang menerjang tanpa henti. Bahkan aku merasakan keringat dingin menjalar, membasahi seluruh tubuhku.

Kamu mengarahkan tatapan seluruhnya, kepadaku, “Terimakasih...,” ujarmu lirih lengkap dengan senyum yang terasa hambar.

Aku mengernyitkan dahiku. Apa ini pertanda sesuatu yang buruk?

“Tapi...,” katamu mengambang membuatku nyaris hilang keseimbangan. Apa aku salah menyukaimu?

“Aku..., sudah..., punya Lisa, Tia. Maaf...,” pungkasmu sambil menatapku khawatir.

Detik itu juga, aku merasakan tanah tempatku berpijak runtuh. Aku merasa seluruh tubuhku lemas dan sepertinya aku akan limbung. Mataku memanas. Sementara itu, aku merasakan gelenyar aneh yang menusuk hatiku, perlahan dan perih menjalar ke seluruh tubuhku.

“Tidak...,” kataku lirih sambil berusaha memaksakan senyum yang sangat sulit terbentuk. Aku nyaris saja menangis, tapi buru-buru kuseka sudut mataku. Bagaimanapun, aku seharusnya berbahagia, kamu yang kucintai, sudah memiliki pengisi hati.

“Kalian..., cocok. Bahagia..., ya?” seruku serak. Tuhan..., aku bisa saja mati sekarang juga.

Kamu menatapku semakin khawatir. Tapi aku tidak apa-apa. Ya, aku tidak apa-apa, setidaknya, untukmu.

“Maaf,” serumu padaku. Aku menggeleng, tidak apa-apa.

“Aku baik-baik saja,” sahutku sambil mengucapkan kalimat biadab itu dengan susah payah.

*

#Gusar—Joan, apa aku salah?                                                                    
    
Aku baru saja bangun tidur saat mendengar sayup pintu diketuk. Suara itu terdengar jauh. Aku menyisir riak rambutku dengan jemari, lalu meloncat dari atas tempat tidur. Aku menyeka wajahku dengan seadanya.

Ketukan di pintu yang tadi terdengar samar-samar, sekarang terdengar lebih kuat dan jelas. Sambil mengerang, aku buru-buru keluar, meneliti siapa yang datang dengan jam yang masih sepagi ini.

Aku melirik sekilas ke arah jam dinding, berusaha membenarkan pembelaanku. Tapi ternyata jam dinding sama sekali tidak mendukungku. Sudah pukul sepuluh, ternyata. Sebentar lagi siang.

Gosh, siapa yang peduli, kan?

Lagipula, ini Hari Minggu. Jadi, tidak apa-apa, kan, aku menyebut jam sepuluh itu masih sangat pagi? Lagipula, matahari keluar dalam kamusku, adalah pukul dua belas. Tengah hari.

Sambil menggeram, aku segera merayap ke arah pintu rumah. Menekan daun pintu sehingga pintu itu terkuak. Muncullah sebuah kepala dengan bibir dicebikkan. Begitu melihat siapa yang datang bertamu, aku hanya menyeringai bodoh.

“Aku udah nunggu sampai lumutan, tahu!” protes Lisa.

Aku meringis. Lisa berpakaian rapi dan seperti biasanya, selalu terlihat cantik. Demi melihat penampakanku yang baru saja bangun tidur, Lisa mencebikkan bibirnya, mencibir.

Aku terkekeh, lalu mengucapkan sori, tanpa suara. Setelah kupersilakan masuk, Lisa dengan semangat langsung meluncur menuju dapur. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan perempuan itu. Aku membiarkannya saja.

Bukannya aku tidak peduli atau apa. Selain dia memang milikku, maksudku, pacarku, Lisa memang sudah biasa dengan seenak jidatnya mengobrak-abrik rumah orang lain.

Jelas, aku membiarkan hobinya berkembang pesat. Lisa kurang bisa dikritik.

Lisa kembali dengan piring-piring kecil. Diletakannya di atas meja, di depanku. Sementara aku memperhatikan pekerjaannya sambil mengangkat alis tinggi, Lisa kembali bekerja. Dia mengeluarkan aneka macam barang—yang aku tidak tahu namanya—dari dalam tasnya. Dia lalu menyusunnya. Dengan rapi.

“Selamat ulang tahun, Joan!” serunya riang seraya menyalakan lilin. Dia menebarkan confetti, di dalam rumahku.

Dengan senyumnya yang hangat, dia menyodorkan kue ulang tahun kepadaku, dengan lilin menyala terang. Aku membalas senyumnya dengan hambar. Memejamkan mata, aku melafalkan harapan lalu meniup lilin hingga padam.

Bayangan kejadian setahun lalu, tiba-tiba menusukku. Menyisakan rasa perih yang begitu terasa.

*

“Aku baik-baik saja,” ucapmu terdengar lirih dan samar di telingaku. Suaramu campuran antara serak dan parau. Dan ini karenaku.

Aku masih menatapmu bingung harus apa. Sebagai laki-laki, aku benci membuat perempuan menangis karenaku. Tapi ini kamu. Aku tidak tahu bagaimana caranya menghapus air mata itu.

Kenyataannya, aku memang ingin menghapus dengan jemariku. Tapi bahasa tubuhmu dengan jelas tidak memperbolehkanku melakukannya.

“Aku...,” ucapku serak. Aku juga bingung harus bilang apa. Bagaimanapun, kamu adalah teman yang baik. Kita sudah berteman lama. Dan melihatmu menangis, di hadapanku, karenaku, itu juga membuatku sakit.

Kamu menatapku. Menanti kalimatku yang menggantung. Demi melihat mata yang menyimpan air mata di sudutnya, aku menelan ludah dengan susah payah, “...maaf,” lanjutku lirih.

Aku tahu senyum itu. Senyum getir yang selalu kau tunjukkan saat kamu tidak bisa mengungkapkan kata-kata sebagai jawaban. Aku mengenalmu. Dan aku cukup tahu bahwa senyum getir itu adalah pengganti jawabanmu, yang tidak bisa kau ucapkan.

“Tiara...,” panggilku gusar.

Bagaimanapun, aku tidak rela melihatmu menangis. Apalagi karena kalimat keparatku.

Kamu menggeleng-gelengkan kepala, menatapku dengan sendu, “Aku baik-baik, Jo. Percayalah.”

Aku tidak bisa percaya. Keadaanmu bahkan tidak lebih baik. Semakin memburuk. Dan itu karenaku.

“Kamu tidak percaya?” katamu lalu tertawa kikuk, “Akan kupastikan. Aku selalu dan terus baik saja.”

“Tia...,” sahutku lagi. Apa yang sudah kulakukan kepadamu?

Kamu tersenyum kecil, lalu senyum itu lenyap. “Kalau aku bisa mencintaimu sampai aku mati tanpa harus berurusan dengan keinginan untuk memilikimu, itulah yang akan selalu aku lakukan,” ujarmu sambil menarik kedua sudut bibirmu. Membentuk senyuman, yang terasa perih di dadaku.

Aku terkesiap. Tidak. Kamu tidak boleh melakukannya. Aku tidak ingin melihatmu sakit. Lebih dari ini, “Jangan,” sergahku cepat, “kumohon jangan.”

Kamu tersenyum tipis dan menyentuh lenganku, ragu, “Tidak apa-apa. Lagipula, aku tidak akan merebutmu dari Lisa, kok.”

Aku menggeleng. “Kumohon...,” seruku serak.

Kamu tersenyum lagi. Lalu mengambil sekotak kardus kecil dari tasmu. Coraknya garis horizontal berwarna merah. Lagi-lagi, kamu tersenyum. Apa kamu tahu, aku semakin sakit melihatnya? “Selamat ulang tahun, Joan,” serumu seraya mengangsurkan kotak itu kepadaku.

Aku menerimanya. Lantas mengucapkan terimakasih dengan lirih. Kotak itu menguarkan aroma melati samar. Bau parfum yang sama denganmu.

“Tenang saja,” ucapmu membuatku menatapmu lagi, “hanya aku yang mencintaimu. Kamu tidak perlu khawatir. Kamu tidak akan mencintaiku.” Kamu menatapku lembut. Dan aku semakin gusar karenanya.
Kumohon, hentikan. Aku tahu itu menyakitkan buatmu.

“Aku akan baik-baik saja,” lanjutmu sambil mengangguk. Mengamini ucapanmu sendiri, “setidaknya, aku, kamu, dan Lisa, akan baik-baik saja. Seperti biasanya.”

Aku tidak ingat apa yang kaucapkan setelah itu. Atau itu memang ucapanmu sebelum akhirnya kamu melangkah menjauh? Aku hanya bisa menatap punggungmu yang semakin mengecil.

Kamu mungkin tidak tahu. Tapi aku melihat secara jelas. Bahumu bergetar samar, lalu semakin kuat. Aku tahu kamu menangis. Bukan kamu saja yang sakit. Aku juga sakit. Melihatmu menangis, menanggung luka.

Tapi...apa aku memang sepenuhnya salah atas ini?

“Aku akan baik-baik saja. Setidaknya, aku, kamu, dan Lisa, akan baik-baik saja. Seperti biasanya.”


Kamu benar. Kita semua, pasti akan selalu baik-baik saja.
---

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Jendela yang Bercerita Published By Gooyaabi Templates | Powered By Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com